Selasa, 10 Januari 2012

ANALISA KASUS PENANGKAPAN KAPAL NELAYAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA


Kapal Pengawas HIU 001 milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan  tgl 7 april 2011, berhasil menangkap Dua kapal berbendera Malaysia yang sedang melakukan pencurian ikan /Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka.
 Kapal yang ditangkap antara lain KM KF 5325 GT 75,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E dan KM. KF 5195 GT 63,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E. Kedua kapal ditangkap karena :
  •   telah melanggar batas wilayah ZEE Indonesia.
  •                tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
  •                 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI .
  •   serta penggunaan alat tangkap terlarang Trawl .
Dengan demikian, kedua kapal tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Jo pasal 92 Jo pasal 93 ayat (2) Jo pasal 86 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Usai ditangkap, kedua kapal langsung dibawa ke dermaga Lantamal I Belawan dan langsung dilakukan pembongkaran ikan sebagai barang bukti untuk disimpan di suatu tempat agar tidak rusak, dengan disaksikan Kepala Stasiun Pengawas Belawan. Apabila fakta-fakta tersebut di atas dipandang sebagai benar (yang tergantung dari bagaimana pembuktiannya), telah dapat cukup dibuktikan unsur kesalahan dari kedua kapal Malaysia tersebut, akan tetapi perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain yang juga terlibat di dalamnya.

Berdasar kan Konvensi Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS Pasal 58 ayat 3 disebutkan :
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di ZEE, negara-negara harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bab ZEE dalam konvensi”
Selain itu dinyatakan pula dalam pasal 62 ayat 4 Konvensi Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS bahwa orang-orang asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE harus mengindahkan upaya-upaya konservasi sesuai peraturan perundang-undangan negara pantai.
Tindakan Kapal Pengawas HIU 001 yang dinahkodai Moch Nursalim milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah sesuai dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (1) dan (3).
Penangkapan tersebut didasarkan kerena kedua kapal berbendera Malaysia melakukan pelanggaran pelanggaran antara lain :

Telah memasuki wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia tanpa ijin yaitu Kapal  KM KF 5325 GT 75,80  pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E Sedangkan kapal lainnya adalah KM. KF 5195 GT 63,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E .
Kapal ditangkap karena melakukan pencurian ikan / illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka.  
Berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Pasal 27 ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyi :

1.    Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.
2.    Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.

Dari hasil pemeriksaan ternyata kedua kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) ini jelas telah melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) tersebut diatas sehingga dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 92 dan Pasal 93 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Pelanggaran diperberat dengan digunakannya alat tangkap terlarang Trawl, hal ini juga melanggar Pasal 9 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi:
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai,membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik.”

 Dimana dalam penjelasan pasal 9 ayat satu disebutkan :
Alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.

Sesuai pasal 73 ayat 1 UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa Negara Pantai mempunyai hak penegakan hukum , yang terkait dengan  hak berdaulatnya atas eksploitasi,konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati  di ZEE untuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan , sebagaimana di perlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS.
Dari Uraian di atas jelas bahwa Penangkapan kedua Kapal berbendera Malaysia telah sesuai dengan undang-undang domestik Indonesia dan ketentuan Internasional .
Dalam kasus ini terdapat pertentangan pendapat antara RI dan Malaysia , yaitu Malaysia menganggap kalau kedua kapal berbendera Malaysia tidak melanggar batas Wilayah Indonesia , sedangkan Indonesia jelas mengatakan bahwa lokasi penangkapan berada di  di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka. Perdebatan ini disebabkan karena sampai saat ini belum adanya kesepakatan perbatasan wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.
Berdasarkan pasal 59 UNCLOS 1982 , dalam hal terjadi  sengketa antara kepentingan-kepentingan Negara Pantai dan Negara lain di ZEE , maka sengketa harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan mempertimbangkan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Sedangkan dalam pasal 74 UNCLOS mengenai penetapan batas ZEE harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38  statuta mahkamah internasional untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
Penerapan metode penyelesaian sengketa secara damai sesuai yang dianjurkan oleh UNCLOS 1982 sebaiknya dan seharusnya dapat diterapkan oleh Indonesia dan Malaysia , karena keduanya telah meratifikasi konvensi tersebut.

Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual
Mahasiswa Pasca Univ.Indonesia.

Senin, 09 Januari 2012

Mewujudkan Pembangunan Berbasis Kelautan.


Setelah diberlakukannya UU Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda), percepatan eksploitasi sumber daya alam telah menjadi tren pembangunan yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan karena target pendapatan anggaran yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada rencana penerimaan dividen dari BUMN dalam RAPBN 2010 yang akan ditingkatkan dari 26,1 trilliun rupiah pada 2009 menjadi 28,5-29 trilliun rupiah untuk tahun 2010, dimana sektor pertambangan yang menonjolkan eksploitasi lingkungan tetap menjadi primadona dalam mendongkrak pendapatan tersebut. Perubahan besar yang dibawa UU Pemerintahan Daerah adalah bahwa wilayah daerah provinsi terdiri dari wilayah daratan dan lautan sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dari yang semula hanya daratan. Sedangkan kewenangan daerah kabupaten atau kota di wilayah laut adalah sepertiga dari wilayah laut provinsi (pasal 18 ayat 4). Hal ini jelas akan berdampak pada kerusakan bio-fisik dan memberi tekanan yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat jika tidak diimbangi adanya perangkat hukum terkait skenario pembangunan pesisir dan kelautan, terutama bagi wilayah berkapasitas bahan-bahan mineral tambang.
Misalnya dalam pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism yang merujuk pada UU Nomor 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, disebutkan adanya kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir yang meliputi permukaan air, kolam, sampai pada pengelolaan dasar laut. Setidaknya HP-3 tersebut hanya akan mewadahi kepentingan antara pemerintah daerah dan pemilik modal karena masyarakat setempat tidak memiliki nilai tawar dalam peran untuk ikut saling merencanakan. Sekadar kilas balik, adanya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Perpres No 36/2006 jo Perpres No 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur, UU No 19/2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, menjadikan industri pengembangan potensi alam nasional justru mengesankan adanya adagium ”keruk habis jual murah” karena bangsa Indonesia hanya sekadar penonton.
Pernyataan itu sebagaimana telah terjadi pada Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, dimana PT Walea dari Italia (pihak swasta) telah mengenakan larangan atas kegiatan perikanan tradisional sejauh tujuh kilometer (Kompas, 20/3). Demikian juga sebuah perusahaan properti asing, VA Real Estate telah menguasai 7 pulau dari 27 pulau dari gugusan Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Alih-alih pembelaan, perusahaan properti asing itu dianggap menyelamatkan dari kemubaziran pulau tak bertuan, yang justru menjauhkan masyarakat setempat dengan wialayahnya sendiri. Dari sisi kepentingan tersebut, pengembangan kawasan pesisir dan kelautan yang di dalamnya juga menyangkut keberadaan pulau-pulau kecil harus dilaksanakan secara transparan. Misalnya kejelasan pengembangan sebuah pantai, tidak bisa digunakan sebagai lahan pembangunan hotel dan bungalow karena masyarakat justru kehilangan khasanah dan ruang publik. Daerah pesisir harus diperuntukkan bagi rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata.
Dengan kata lain, pesisir sebagai kepentingan publik mesti juga mampu menjadi counter budaya masyarakat karena posisinya sebagai salah satu kepentingan publik. Dalam kepentingan tersebut, pesisir dapat menjelma menjadi ruang publik (public space) dan khasanah publik (public sphare). Ruang publik sebagai tempat fisik dapat dijadikan sebagai ruang kajian bersama atau ruang pendidikan. Sedangkan khasanah publik adalah suatu konsep abstrak atau gagasan-gagasan yang secara kompetitif, pesisir sebagai ruang publik jangan sampai terkalahkan oleh ruang publik lain yang menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas, semacam hotel dan restoran komersial yang menjaga privasi. Mengacu pada UU Nomor 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perlu dijaga adanya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Dalam upaya demikian harus disusun grand design rencana pengembangan sekaligus pelestarian yang memperjelas zonasi pesisir dan kelautan, yaitu zona inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan. Langkah tersebut tentu sangat membutuhkan adanya peran akademisi di bidang sumber daya peraiaran dan kelautan.
Skenario pembangunan sumber daya alam Indonesia yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa semuanya diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi di mana produksi dikerjakan semua masyarakat, untuk masyarakat, dan di bawah pimpinan kepemilikan anggota masyarakat sebagai pencapaian kemakmuran bagi semua masyarakat, bukan sekelompok masyarakat tertentu. Pada perspektif ini, pasal 33 (4) lebih tegas mengakui wawasan lingkungan sebagai salah satu dasar dari demokrasi ekonomi yang harus dijabarkan secara praksis di masyarakat. Sebenarnya tuntutan pembangunan potensi kelautan dapat dikompromikan antara sektor produksi hulu sampai pada hilir, setidaknya terfokuskan pada kualitas penangkapan. Sebagai contoh, dapat dikembangkan adanya industri ikan modern yang diharuskan untuk menjadi sentral produksi pengolahan hasil tangkapan nelayan tradisional, mulai dari sortir sampai pengemasan untuk ekspor. Guna menjaga stabilitas pasokan ikan di laut maka nelayan mesti diberdayakan dengan sistem budidaya, seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Demikian juga pabrik es dan pabrik penyulingan air laut menjadi air tawar (desalinasi) yang layak minum mesti didahulukan daripada industri lain, karena menjadi kebutuhan  inti bagi nelayan dalam mendukung produktivitasnya.
Dalam konteks tersebut, konstitusionalisasi norma lingkungan hidup di dalam UUD 1945 dapat menjadi salah satu cara untuk menegakkan hukum baik secara preventif maupun represif. Adanya norma perlindungan terhadap lingkungan di dalam konstitusi secara otomatis akan menjadi pedoman tidak hanya dalam penyusunan undang-undang organiknya namun juga segala tindakan dan macam laku pembangunan kawasan pesisir dan kelautan dari para pemangku kebijakan, baik itu pemerintah, pihak swasta, ataupun masyarakat akademisi dan masyarakat umum.***

Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual.
Mahasiswa Pascasarjana Univ.Indonesia.




Minggu, 01 Januari 2012

MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan semakin canggih dewasa ini khususnya baik di bidang transportasi, komunikasi, maupun informasi serta semakin meningkatnya arus globalisasi antara lain telah menyebabkan wilayah Negara yang satu dengan wilayah negara yang lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan semakin canggih tersebut sangat besar pengaruhnya antara lain:
1.    Di bidang transportasi, yaitu semakin tingginya mobilitas orang, dimana orang dengan mudah dan cepat dapat bepergian dari satu Negara ke negara lain.
2.    Di bidang komunikasi dan informasi, telah memberikan berbagai kemudahan yang didapat oleh masyarakat, misalnya orang dapat melakukan perbuatan tertentu, tanpa harus berada di Negara tempat perbuatan tersebut dilakukan. Segala sesuatu dapat dilakukan dengan mudah, tanpa dibatasi waktu dan/atau tempat.
            Kemajauan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia juga membawa dampak negatif yang dapat merugikan orang perorangan, masyarakat, dan/atau negara. Tidak jarang orang-orang yang tidak bertanggung jawab melihat adanya peluang tersebut untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan/atau kelompoknya, walaupun hal itu akan merugikan orang lain, masyarakat, dan negara. Bahkan hal tersebut mengakibatkan sangat memungkinkan berkembangnya kejahatan transnasional terorganisir (Organized Transnational Crimes) yang modus operandinya semakin canggih, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana pencucian uang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh para pelaku tindak pidana yang bersifat transnasional, antara lain dalam upaya meloloskan diri dari tuntutan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan. Tindakan tersebut jelas dapat mempersulit upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau bahkan untuk pelaksanaan putusan pengadilan. Tindak pidana yang bersifat transnasional bahkan mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu Negara dengan negara lain sehingga upaya penanggulangan dan pemberantasannya sulit dilakukan tanpa kerja sama dan harmonisasi kebijakan dengan negara lain.
            Oleh karena itu untuk menanggulangi dan memberantasnya memerlukan hubungan baik dan kerja sama antarnegara, guna saling memberikan bantuan dalam rangka penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana yang bersifat transnasional berdasarkan hukum masing-masing negara. Bantuan tersebut, antara lain dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Untuk meletakkan landasan hukum yang kuat guna mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan undang-undang, sebagai pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan membuat perjanjian dengan negara asing.

  • Pengertian Umum Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
            Pengertian mutual legal assistance terdapat dalam beberapa instrumen hukum, baik dalam instrumen hukum yang berlaku internasional maupun yang berlaku nasional. Dalam Chapter VIII International Legal Cooperation, Mutual Legal Assistance diartikan sebagai proses kerjasama internasional dimana negara-negara meminta dan menyediakan bantuan dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam penyelidikan dan pengadilan kasus pidana, dan dalam melacak, membekukan, menyita dan akhirnya menyita kekayaan yang berasal dari perbuatan pidana, berikut kutipan dalam bahasa inggris “Mutual Legal Assistance is an international cooperation process by which states seek and provide assistance in gathering evidence for use in the investigation and prosecution of criminal cases, and in tracing, freezing, seizing, and ultimately confiscating criminally derived wealth”.[1]
            Sementara itu, di dalam UU No. 1 Tahun 2006 Pasal 3, mutual legal assistance in  criminal matters atau bantuan hukum timbal balik dalam dalam masalah pidana diartikan sebagai permintaan Bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksanaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara Diminta”.[2] Ada yang mengatakan “A mutual legal assistance treaty is an agreement between two countries for the purpose of gathering and exchanging information in an effort to enforce public laws or criminal laws
      Dari pengertian-pengertian di atas dapat kita tarik definisi umum Mutual Legal Assistance in Criminal Matters adalah kerjasama timbal balik negar-negara dalam masalah pidana melalui pemberian dan penyediaan bantuan hukum.

  •  Prinsip-prinsip Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
            Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk kerjasama negara-negara yang dilaksanakan dalam upaya untuk mengembangkan bantuan teknis terhadap masalah pidana yang terjadi di suatu negara yang juga berdampak pada negara-negara lain. Dalam prakteknya, pelaksanaan Mutual Legal Assistance di antara negara-negara didasari pada beberapa prinsip penting, sebagai berikut:
1.    Prinsip Kerjasama
                  Prinsip kerjasama atau kerjasama internasional dalam kasus khusus merujuk pada kerjasama hukum atau kerjasama peradilan. Prinsip kerjasama biasanya diatur oleh perjanjian atau instrumen hukum legal diantara beberapa negara, atau pengaturan khusus diantara dua buah negara.  Kerjasama yang diatur dalam perjanjian berbeda-beda, terkadang hanya menetapkan hal-hal umum, namun kemungkinan untuk mengatur masalah pidana khusus seperti narkotika atau korupsi juga terbuka lebar sesuai kesepakatan negaar-negara.
2.    Prinsip Reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik[3]
            Pada umumnya prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana biasanya didasarkan pada hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, konvensi serta kebiasaan internasional. Namun, kesepakatan serta kerjasama negara-negara dalam memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana tidak selalu dituang dalam perjanjian formal, hubungan baik antara negara-negara sering kali dijadikan salah satu dasar diberikannnya bantuan timbal balik apabila belum ada perjanjian yang mengatur hal tersebut.

  • Instrumen Hukum Mutual Legal Assistance
            Beberapa instrumen hukum terkait dengan bantuan timbal balik yang akan dielaborasi lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1.    UN Convention Against Transnational Organized crime (TOC)
2.    UN Convention Against Corruption 2003
3.    Treaty on Mutual Legal Assistance
4.    International Convention for The Suppression of The Financing of The Terrorism
5.    Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

  • Aspek-aspek dan Mekanisme Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
           
            Aspek Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
            Di dalam melaksanakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, terdapat aspek-aspek penting yang mendasari dilakukan kerjasama negara-negara, yakni :
-          sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan hukum
-          sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antar negara yang menekankan pada prinsip kerjasama.
-          hubungan antara kewenangan penegak hukum yang lebih sistematik dan upaya untuk menerapkan sistem bantuan timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime)
-          sistem bantuan timbal balik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan resiprositas sebagai perwujudan good governance.

Mekanisme Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
Penerapan bantuan timbal balik dalam masalah pidana melibatkan Negara Peminta dan Negara Diminta, dimana kerjasama yang dilakukan akan sangat mendukung dan mempermudah dilaksanakannya proses peradilan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang muncul. Dalam menetapkan mekanisme pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, maka dibentuklah perjanjian baik bilateral, multilateral maupun regional negara-negara yang akan merumuskan mekanisme bantuan timbal balik serta penetapan pihak berwenang yang memiliki otoritas terkait dengan pengajuan permintaan persyaratan permintaan, bantuan untuk mengidentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan barang bukti dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.
Secara umum, biasanya mekanisme hubunga timbal balik akan dilakukan oleh suatu Central Authority atau Pejabat Pemegang Otoritas yang akan berperan sebagai koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana maupun penanganan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari negara asing. Secara singkat, mekanisme permintaan dan pemberian bantuan timbal balik adalah sebagai berikut :
  1. Pengajuan bantuan timbal balik secara tertulis, diserahkan Negara Peminta kepada Negara Diminta. Walaupun permintaan bantuan dapat dilakukan secara lisan, namun permintaan harus dikonfirmasi secara tertulis dalam lima hari. Informasi yang diberikan antara lain harus mencakup nama peminta bantuan, tujuan permintaan, penjelasan masalah pidana, penjelasan mengenai bukti dan informasi bantuan yang diminta, identitas, lokasi dan kewarganegaraan orang yang sedang dicari, identitas, lokasi dan kewarganegaraan orang yang dapat memberikan bantuan dan informasi pendukung lainnya.
  2. Pejabat Pemegang Otoritas Negara Diminta akan memproses permintaan bantuan dengan segera.
  3. Negara Diminta selanjutnya akan menyerahkan bukti atau informasi terkait yang diminta oleh Negara Peminta terkait dengan masalah pidana yang diajukan.
            Dikaitkan dengan mekanisme yang diterapkan di Indonesia, Pejabat Pemegang Otoritas dalam memberikan bantuan dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan biasanya dibantu oleh :
-          Kepolisian Negara RI
-          Menteri yang bertanggung jawab dalam Hukum dan HAM
-          Jaksa Agung yakni Pemimpin dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan.
      Badan-badan tersebut merupakan fasilitator dalam pengajuan maupun pemberian bantuan timbal balik dimana menteri akan bertindak melalui jalur diplomatik.

  • Jenis-jenis Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
            Mutual Legal Assistance in Criminal Matters dapat dilakukan oleh negara-negara melalui berbagai macam jenis kerjasama, termsuk di dalamnya bilateral, maupun multilateral. Saat ini, Indonesia masih mengupayakan diselenggarakannya kerjasama bantuan timbal balik dengan beberapa negara seperti India, Swiss, Amerika Serikat dan lainnya, namun bila dikaitkan dengan kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia sendiri, hingga saat ini Indonesia telah melakukan kerjasama bantuan timbal balik baik secara bilateral dan multilateral.

Bantuan Timbal Balik Bilateral
  1. Australia
            Kerjasama bilateral antara Indonesia dan Australia ditandatangani tahun 1995 kemudian disahkan melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1999 tentang  pengesahan Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters (perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana).
  1. Republik Rakyat Cina
          Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China on Mutual Legal in Criminal Matters) ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2000, dan disahkan dengan Undang-Undang No 8 Tahun 2006.

  1. Korea Selatan
            Perjanjian antara Indonesia dan Korea Selatan ditandatangani tahun 2004, sebagaimana disahkan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea (Treaty on Extradition between the Republic of Indonesia and the Republic of Korea).
  1. Hong Kong
           Perjanjian antara Indonesia dan Hong Kong yang ditandatangani oleh Jaksa Agung RI pada tanggal 3 April tahun 2008 lalu dan saat ini dalam proses ratifikasi.
           
Bantuan Timbal Balik Multilateral         
1. ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty
            Perjanjian antara Republik Indonesia dan negara-negara ASEAN mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, (Treaty on Mutual Legal Assistance Between ASEAN Countries) yang telah ditandatangani pada tanggal 29 November 2004 dan telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana).
            2. Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption / UNCAC) tahun 2003, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
            3. Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnastional Organized Crime / UNTOC) tahun 2000, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.

  •  Kategori Pidana yang Termasuk Dalam Bantuan Timbal Balik  Dalam Masalah Pidana

-          Korupsi
-          Perdagangan manusia
-          Penyelundupan imigran
-          Pencucian uang
-          Kejahatan terorganisir
-          Pembajakan
-          Terorisme
-          Perdagangan obat dan narkotika

  • Bentuk-bentuk Bantuan Hukum Dalam Penerapan Mutual Legal
      Assistance in Criminal Matters
            Secara umum, terdapat beberapa bentuk bantuan hukum yang diberikan antara Negara Peminta dan Negara Diminta dalam konsep bantuan timbal balik, yakni dalam penyediaan bantuan dalam hal :
-          Bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang
-          Bantuan untuk mendapatkan pernyataan, dokumen, alat bukti lainnya
-          Bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang di Negara Peminta
-          Bantuan untuk permintaan dikeluarkannya surat perintah di negara asing dalam mendapatkan alat bukti
-          Bantuan untuk penggeledahan dan penyitaan barang, benda, atau harta kekayaan
-          Bantuan untuk penyampaian surat
-          Bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan Negara Peminta
            Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2006, ketentuan yang mengatur baik  permintaan dari Pemerintah Republik Indonesia maupun permintaan kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal bantuan timbal balik dalam masalah pidana diatur dalam pasal 9 hingga pasal 53. Sementara itu, Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana pada umumnya mengecualikan masalah ekstradisi dan penyerahan orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian esktradisi antar negara diatur secara terpisah.

  • KESIMPULAN 
Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yang sifatnya bilateral, dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi. Di samping itu, Mutual Legal Assistance, secara relatif dapat dipakai guna mengatasi kendala-kendala hukum dan diplomatik yang sering kali muncul bersamaan dengan dilakukannya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi.

Maimuna Renhoran
Mahasiswa Pasca Hukum Universitas Indonesia



            [1] Chapter VII International Legal Cooperation. www.UNODC.org

            [2] UU No 1 Tahun 2006, Pasal 3

[3]    UU No 1 Tahun 2006, Pasal 5

Sabtu, 31 Desember 2011

Penanganan IUU Fishing Pada Perbatasan Wilaya Laut Indonesia di Pulau Lirang Dengan Republik Demokratic Timor Leste di Pulau Atauro Dalam Kerangka Hukum Internasional.


Tantangan yang dihadapi untuk dapat mengelola sumber daya ikan secara berkelanjutan di perairan Indonesia menjadi sangat berat karena maraknya praktek-praktek penangkapan ikan yang oleh dunia internasional disebut sebagai kegiatan perikanan yang illegal, unreported and unregulated (lUU-fishing). Menurut kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Echols and Shadily, 2002), kegiatan illegal berarti kegiatan melanggar hukum, gelap, tidak sah atau liar. Perkataan unregulated bermakna tidak teratur, sedangkan unreported berarti tidak dilaporkan. Dalam perspektif pengelolaan perikanan di Indonesia, defenisi FAO tentang kegiatan illegal dengan mudah dipahami karena memiliki definisi yang tidak berbeda yaitu segala bentuk kegiatan yang melanggar hukum/peraturan yang ada, namun pemahaman unreported dan unregulated dalam konteks hukum perikanan di Indonesia belumlah didefinisikan secara jelas.
Pengertian Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia (Mukhtar, 2008). Lebih lanjut dikemukakan bahwa IUU fishing dapat terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan serta intensitas eksploitasi. Demikian pula dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil maupun industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional.
Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2001 merumuskan satu panduan khusus untuk mengatasi kegiatan IUU-fishing di samudra dunia. Panduan tersebut diberi nama "International Plan of Action to Prevent, Determine and Eliminate IUU-fishing (IPOA-IUU-fishing)". Penyusunan pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan IUU fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya perikanan yang komprehensif, terintegrasi, efektif, transparan serta memperhatikan kelestarian sumber daya bagi negara-negara perikanan dunia. Naskah panduan tersebut disepakati oleh Committee on Fisheries (COFI) dari FAO secara konsensus pada tanggal 2 Maret 2001 (FAO, 2001).
Dokumen tersebut pada bagian awalnya berisikan pemahaman mengenai arti dari istilah illegal, unreported dan unregulated. Menurut panduan tersebut istilah atau defenisi perikanan IUU:
(1)    Kegiatan   perikanan   yang   termasuk   kategori   illegal   adalah   kegiatan penangkapan ikan yang:
1)    Dilakukan oleh kapal-kapal nasional maupun kapal asing di perairan di dalam yuridiksi satu negara tanpa izin dari negara tersebut ataupun bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut;
2)    Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut, ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku lainnya yang relevan; atau
3)    Bertentangan dengan hukum  nasional atau pun kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dianut oleh negara-negara yang menyatakan bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.
(2)  Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unreported mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1)    Tidak melaporkan atau sengaja memberi data yang salah dalam melaporkan kegiatannya pada institusi nasional yang relevan, yang mana bertentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku di negara tersebut; atau
2)    Dilakukan di dalam wilayah, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut.
(3)   Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unregulated mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1)   Di area dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan program-program pengelolaan dari organisasi tersebut; atau
2)    Di area atau terhadap stok ikan yang tidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. Beberapa kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated} diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Diharapkan IPOA-IUU fishing dapat dipandang sebagai salah satu instrumen yang berguna untuk mengatasi masalah IUU fishing. Sudah barang tentu tidak semua instrumen tersebut akan sesuai digunakan di berbagai situasi dan di tiap perairan. Oleh sebab itu, kehadiran panduan tersebut diharapkan dapat : (1) membantu negara-negara anggota FAO untuk lebih mengenai berbagai instrumen yang tersedia; (2) memberi saran tentang instrumen yang sesuai dengan situasi dan kondisi perairan tertentu dan kondisi negara; dan (3) memberikan arahan tentang bagaimana menggunakan instrumen tersebut secara efektif. Panduan tersebut menghendaki setiap negara perikanan dunia menyusun program penanggulangan masalah lUU-fishing di wilayahnya sesegera mungkin, tidak lebih dari tiga tahun sejak dokumen tersebut diadopsi. Dalam Lembaran Fakta yang disusun DKP-RI melalui Direktorat Jenderal
P2SDKP pada siaran persnya tanggal 3 Maret 2008 (DITJEN P2SDKP, 2008),
terdapat empatpersoalan utama yang berkaitan dengan IUU fishing, antara lain :
(1)   Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing merupakan permasalahan global   (menjadi   isu   internasional)   dalam   pembangunan   kelautan   dan perikanan. Kegiatan IUU fishing mengakibatkan kerugian ekonomis, kerugian sosial, rusaknya terumbu karang, berkurangnya jumlah ikan dunia secara signifikan dan menyulitkan upaya negara-negara dalam mengelola sumber daya perikanan di laut yang berada dalam yuridiksinya. Menurut catatan The Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah IUU fishing diperkirakan seperempat dari jumlah total penangkapan ikan dunia dengan kecenderungan jumlah yang terus meningkat dari sisi kuantitas maupun cakupannya;
(2) FAO pada tahun 1999 telah merumuskan upaya-upaya penanganan permasalahan IUU fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action (IPOA) dengan tetap mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Disamping itu dunia internasional telah pula menyelenggarakan beberapa konvensi internasional yang melibatkan negara-negara di dunia dalam upaya merumuskan aksi penanggulangan IUU fishing. Karena sifatnya yang luas, ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konvensi tersebut cenderung masih bersifat sektoral dan lebih terfokus pada kepentingan negara-negara maju ketimbang kepentingan negara berkembang. Disamping itu, peraturan dan kebijakan penanggulangan IUU fishing di masing-masing negara berbeda satu sama lain, sehingga kerapkali memicu terjadinya perbedaan cara pandang dan tindak bagi negara yang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya berbatasan secara langsung;
(3)   Hasil operasi kapal pengawas P2SDKP tahun 2007 telah berhasil melakukan penangkapan sebanyak 184 kapal perikanan dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal pengawas dengan rincian bahwa pada tahun 2007 jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) mencapai 212 buah kapal yang ditangkap sebanyak 89 buah kapal, sedangkan untuk kapal ikan Indonesia (KII) sebanyak 1995 buah dan yang ditangkap sebanyak 95 buah kapal. Dari hasil tersebut diperkirakan kerugian negara yang dapat terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar. Kerugian negara tersebut terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) sebesar Rp. 34 miliar, subsidi BBM senilai Rp. 23,8 miliar dan sumber daya perikanan yang terselamatkan sebesar Rp. 381 miliar. Nilai sumber daya ikan tersebut bila dikonversikan dengan produksi ikan sekitar 43.208 ton. Produksi tersebut bila dimanfaatkan diperkirakan mampu menyerap sekitar 17.970 tenaga kerja baik di sub sektor perikanan tangkap, pengolahan, jasa kelautan dan pendukung;
(4)   Pada tahun 2007, kasus yang ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan sebanyak 150 kasus. Kasus/pelanggaran yang terjadi umumnya berupa tidak memiliki dokumen perizinan (63 kasus), tidak berizin dan memiliki alat tangkap terlarang (27 kasus), dokumen tidak lengkap (128 kasus) serta pelanggaran fishing ground (10 kasus). Dari 150 kasus tersebut, 122 kasus sedang dalam proses hukum, 4 kasus pada tahap klarifikasi dan 24 kasus tidak diproses secara hukum (proses pembinaan). Kasus-kasus yang diproses secara hukum diantaranya 69 dalam proses penyidikan, 22 kasus telah dalam tahap P-21, 3 kasus dalam proses persidangan serta 28 kasus telah mendapatkan putusan pengadilan. Dari berbagai operasi yang telah dilakukan oleh DKP sepanjang 2007 dengan didukung oleh alokasi anggaran APBN sebesar Rp. 254 miliar, telah berhasil menangkap dan menyidang sebanyak 184 buah kapal, dengan total kerugian Negara yang berhasil terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan IUU fishing di Indonesia antara lain disebabkan karena adanya kendala-kendala dalam penanganannya. Mukhtar
(2008) mengemukakan kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU
fishing di Indonesia yaitu:
(1)   Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan; Penerapan Monitor ing and Controlling System yang belum sempurna.
(2)   Belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan dan penggandaan izin.
(3)   Lemahnya Law Enforcement karena wibawa hukum menurun.
(4)   Ketidakadilan bagi masyarakat.
(5)   Maraknya pelanggaran & aktivitas-aktivitas ilegal.
Masalah-masalah IUU fishing yang dijelaskan di atas, umumnya terjadi di wilayah-wilayah     perbatasan.     Kecenderungan     masalah-masalah     tersebut, khususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang penting untuk dimanfaatkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 6 menyatakan bahwa Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Mengacu pada Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang ini, Wilayah Negara yang dimaksudkan di atas adalah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Batasan ini menunjukkan bahwa Kawasan Perbatasan tidak hanya meliputi wilayah daratan tetapi juga wilayah perairan yang termasuk dalam teritorial negara. Dalam konteks geografis, banyak  permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat di kawasan perbatasan sebagai akibat lemahnya aksesibilitas. Permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan Indonesia berbeda sifat dan kondisinya dengan kawasan lain. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan dipengaruhi oleh faktor yang berbeda seperti geografis, sumber daya manusia dan alam, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta tingkat kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh seluruh wilayah perbatasan di Indonesia adalah kemiskinan serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi.
Beberapa masalah di wilayah perbatasan Indonesia yang penting dikemukakan untuk memberikan gambaran adanya masalah di wilayah itu, antara lain:
(1) Provinsi Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, kondisi sosial-ekonomi negara tetangga masih jauh lebih baik. Selain itu, di wilayah perbatasan ini terjadi pula penurunan kualitas sumber daya alam akibat perambahan hutan secara ilegal serta adanya pengiriman sumber daya manusia secara ilegal.
(2) Di wilayah perbatasan Papua-PNG, kondisi sosial dan ekonomi Indonesia yang masih relatif lebih baik serta masih adanya keterikatan keluarga dan suku bangsa sehingga menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional (barter) melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi. Kegiatan perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi dan bersifat resmi antara kedua negara melalui pintu perbatasan ini masih sangat terbatas. Sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara fisik, sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas pegunungan dan kawasan berbukit yang masih sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat dan roda dua. Satu-satunya sarana perhubungan yang dapat menjangkau wilayah perbatasan pegunungan tersebut adalah pesawat udara perintis atau helikopter.
(3) Di wilayah perbatasan Indonesia dan RDTL, secara umum kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku Barat Daya, masih  belum berkembang dan sarana serta prasarananya masih bersifat darurat. Secara umum kondisi wilayah perbatasan di NTT dan Maluku Barat Daya ini relatif lebih baik dibanding dengan wilayah perbatasan di wilayah Timor Leste (RDTL). Pada kawasan tersebut sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat Timor Leste dan disediakan oleh masyarakat Indonesia dengan nilai jual yang relatif tinggi.
Dalam konteks potensi wilayah, setiap wilayah perbatasan memiliki ciri khas mas ing-mas ing. Ciri khas yang dimaksud bisa didasarkan pada aspek geofisik wilayah, aspek biologis, aspek sosial maupun aspek ekonomi. Keseluruhan aspek tersebut, bila dilihat secara menyeluruh memberikan gambaran bahwa wilayah perbatasan memiliki potensi untuk dikelola dan dimanfaatkan, terutama potensi yang memiliki nilai ekonomis seperti hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan.
Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah perbatasan di kawasan perairan laut yang menjadi tujuan pemanfaatan ialah sumber daya ikan. Namun demikian, sumber daya ikan di seluruh dunia saat ini menghadapi tekanan eksploitasi yang sangat tinggi. Hasil evaluasi badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 1998 menunjukkan bahwa empat dari 16 perairan telah mencapai puncak pemanfaatan sumber daya ikannya, delapan wilayahnya telah dimanfaatkan sekitar lebih dari 70%, sementara empat lainnya telah dimanfaatkan antara 10% - 50%. Wilayah perairan Indonesia yang termasuk dalam wilayah 57 yaitu perairan kawasan Timur dan Utara serta wilayah 71 yaitu perairan kawasan Barat dan Selatan, termasuk yang dinyatakan sebagai kawasan dimana pemanfaatan sumber daya ikannya sudah mencapai puncak (Nikijuluw, 2005).
Sebagai negara anggota PBB yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup besar, Indonesia memiliki obligasi untuk berupaya sekuat tenaga menjaga agar sumber daya ikan yang dimiliki tetap lestari. Pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia yang memiliki mandat mengelola sumber daya perikanan dan kelautan. Sebagai institusi yang mendapat otoritas untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan maka KKP menjadi aktor penentu dalam penyusunan program nasional penanggulangan masalah IUUfishing Indonesia.
Keberadaan lembaga negara yang diberi mandat dan tugas untuk mengelola sumber daya ikan di Indonesia sudah sejak berpuluh tahun lalu yang ditingkatkan menjadi KKP pada tahun 1999. Sejak itu pula berbagai program nasional maupun daerah diluncurkan agar sektor kelautan dan perikanan Indonesia menjadi maju. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan KKP untuk mengelola sumber daya perikanan agar tetap lestari, baik dengan penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), penetapan jalur-jalur penangkapan sesuai dengan kapasitas dan upaya penangkapan, pembatasan armada dan alat tangkap, penetapan kuota hasil tangkapan, sampai pada pengembangan kawasan-kawasan konservasi laut.
Berdasarkan upaya-upaya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari, seharusnya tidak sulit untuk memberikan bukti pada dunia bahwa Indonesia telah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dan telah memilih serta memiliki cara untuk mengatasinya sesuai dengan rekomendasi dan anjuran FAO. Program-program yang sudah berjalan ataupun dalam perencanaan tersebut disusun dan dikerjakan oleh berbagai unit kerja yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai institusi yang bernaung di bawah kendali KKP. Mengingat bahwa dokumen resmi FAO mengenai aspek IUU fishing ini baru disebarluaskan pada tahun 2001, maka masih diperlukan waktu agar semua lapisan masyarakat terutama di pemerintahan pusat maupun daerah untuk memahaminya. Itulah sebabnya mengapa berbagai program yang sudah ada belumlah disusun secara komprehensif sesuai dengan format yang direkomendasikan oleh FAO dalam buku panduannya (FAO, 2002). Penyusunan program penanggulangan IUU-fishing secara komprehensif sesuai dengan format yang direkomendasikan oleh FAO dapat menjadi bukti adanya komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkapnya.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Akibatnya, wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakat di wilayah perbatasan pada umumnya miskin serta diprediksi banyak yang berorientasi pada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga, yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga RDTL, tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan potensi sumber daya alamnya (migas) serta dukungan internasional akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi wilayah NTT dan Maluku yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan kontinen maupun maritim menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut. Kerjasama subregional seperti Asian Free Trade Area (AFTA), Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East Asian Growth Area (BIMP-EAGA), dan Australia-Indonesia Development Area (AID A) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan seluruh pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan subregional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumber daya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Isu dan permasalahan yang sering muncul dan terjadi dengan negara-negara tetangga secara bilateral lebih banyak didominasi oleh masalah penataan garis batas antar negara, baik kontinen maupun batas maritim. Namun demikian isu atau permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian juga muncul seperti penanganan masalah nelayan yang saling melanggar batas negara, dan adanya pelintas batas tradisional sebagai kegiatan yang telah berlangsung sejak dahulu karena adanya kesamaan budaya dan hubungan kekeluargaan seperti di Kalimantan, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Di beberapa wilayah perbatasan, baik darat maupun laut belum tercapai kesepakatan penentuan garis batas, termasuk antara RI dan RDTL. Di wilayah perbatasan kedua negara ini, beberapa titik tapal batas belum disepakati. Ketidakjelasan batas maritim antara kedua negara sering menimbulkan pertentangan antara aparat yang bertugas di lapangan, serta antara nelayan Indonesia dan negara tetangga.
Wilayah-wilayah maritim yang belum disepakati garis batasnya antara lain: (1) batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan P. Miangas, P. Marore, dan P. Marampit; (2) penentuan batas yang baru secara trilateral antara Indonesia-Australia dan RDTL; (3) batas landas kontinen di wilayah antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam; (4) batas perairan ZEE antara Indonesia dan Palau; dan (5) masih adanya ganjalan tentang batas laut dengan Singapura akibat reklamasi yang dilakukan Singapura. Belum tercapainya kesepakatan penentuan garis batas negara dengan negara tetangga sangat potensial menimbulkan berbagai masalah baru di masa yang akan datang.
Perbatasan maritim Indonesia dengan sepuluh negara tetangga memberi peluang adanya pelanggaran batas, baik oleh kapal-kapal asing maupun oleh nelayan dalam negeri yang belum mengetahui secara pasti batas maritim Indonesia. Belum jelas dan tegasnya batas maritim antara Indonesia dan beberapa negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, menyebabkan terjadinya pelanggaran batas maritim oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. Beberapa kasus pendudukan pulau-pulau milik negara tetangga, di perbatasan maritim dengan Australia dan perbatasan maritim dengan India, yang telah berlangsung lama menyimpan potensi konflik karena dapat memicu konflik bilateral yang lebih meluas.
Penanganan nelayan kedua negara yang melanggar batas perlu diupayakan secara terpadu oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah. Di beberapa daerah kepulauan, seperti Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua, NTB, dan NTT, Maluku, masih banyak nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang masuk tanpa izin karena ketidaktahuan batas maritim antara kedua negara. Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan, mengingat sumber daya laut yang telah dicuri oleh nelayan asing selama ini merugikan negara dalam jumlah besar. Demikian pula halnya dengan pengembalian nelayan Indonesia yang tertangkap di negara tetangga ke daerah asalnya masing-masing serta penanganan kapal-kapal asing yang ditangkap aparat keamanan Indonesia. Di beberapa daerah, kapal-kapal tangkapan ini dibiarkan terlantar tidak terpakai menunggu keputusan hukum yang berlaku.
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa wilayah perbatasan seperti di Kalimantan, Papua, NTT dan Maluku, menyebabkan adanya kegiatan lintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan lintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antar negara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan wilayah perbatasan kontinen maupun maritim di beberapa daerah.
Masalah sosial dan kependudukan lain adalah masih belum terjangkaunya pelayanan administrasi daerah seperti pemberian tanda pengenal penduduk bagi warga masyarakat di wilayah perbatasan karena sulitnya akses dan terbatasnya sarana perhubungan dan kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan sehingga banyak penduduk Indonesia yang berobat dan bersekolah ke negara tetangga, seperti yang terjadi di daerah Kalimantan Barat. Demikian pula dengan ikatan kekeluargaan antara pengungsi eks Provinsi Timor Timur di Atambua - NTT dan keluarganya di RDTL masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian tentang bagaimana pengaturan kunjungan kekeluargaan ini untuk menghindari lintas batas secara ilegal. Beberapa   fakta   yang  menunjukkan   adanya   pemanfaatan perairan perbatasan pulau Lirang dan RDTL antara lain:
(1)     Pergerakan nelayan RDTL (yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat di  pulau Lirang di Maluku Barat Daya) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar pulau Lirang, dengan perhitungan akan mudah mencari perlindungan ketika musim angin atau ombak. Bahkan aktivitas penangkapan ikan bisa dilakukan secara bersamaan antara nelayan RDTL dengan nelayan pulau Lirang.
(2)     Hal menarik yang dapat diangkat dalam konteks pengelolaan sumber daya ikan ialah bahwa masuknya nelayan RDTL ke Pulau Lirang sulit untuk dicegah petugas TNI dan Polisi di wilayah perbatasan Indonesia ini. Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan bahasa dan dialek sehingga para penjaga perbatasan ini tidak bisa membedakan antara nelayan pulau Lirang dan RDTL.
(3)     Ekspansinya nelayan dari pulau Lirang untuk tujuan penangkapan ikan, tidak hanya menjangkau perairan Pulau Lirang, tetapi juga cenderung mengarah ke kawasan sekitar Pulau Timor yang menjadi kewenangan RDTL. Kegiatan ini dapat dilakukan secara terus menerus ataupun berulang tanpa ada pengawasan yang ketat. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi karena penggunaan armada penangkapan, pola penggunaan dan jenis alat tangkap serta teknik penangkapan yang sama, menyulitkan pengawasan terhadap aktivitas perikanan lintas batas ini.

Ketiga fakta tersebut membuktikan bahwa secara tradisional masyarakat pulau Lirang dan RDTL telah memanfaatkan ruang yang sama untuk tujuan penangkapan ikan. Kondisi ini merupakan praktek IUU fishin. Penanganan perikanan Illegal pada perbatasan perairan pulau Lirang memberi arti penting tentang adanya: (1) batas wilayah NKRI; (2) landas kontinental; (3) perairan teritorial; dan (4) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Didasarkan pada menyatunya perairan teritorial pulau Lirang dan perairan RDTL, maka keberadaan sumber daya ikan di perairan tersebut dapat bermuara atau bermigrasi secara bebas dan dapat menyebabkan adanya perilaku perikanan ilegal. Di samping itu, kegiatan perdagangan atau pemasaran hasil di sekitar pulau perbatasan pulau Lirang di Indonesia maupun Pulau Kambing di RDTL juga menjadi daya tarik untuk terjadinya perikanan ilegal.*** 
Maimuna Renhoran, SH.
Dosen Politkhnik Perikanan Negri Tual.
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Transnasional Universitas Indonesia.