Selasa, 10 Januari 2012

ANALISA KASUS PENANGKAPAN KAPAL NELAYAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA


Kapal Pengawas HIU 001 milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan  tgl 7 april 2011, berhasil menangkap Dua kapal berbendera Malaysia yang sedang melakukan pencurian ikan /Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka.
 Kapal yang ditangkap antara lain KM KF 5325 GT 75,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E dan KM. KF 5195 GT 63,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E. Kedua kapal ditangkap karena :
  •   telah melanggar batas wilayah ZEE Indonesia.
  •                tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
  •                 Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI .
  •   serta penggunaan alat tangkap terlarang Trawl .
Dengan demikian, kedua kapal tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Jo pasal 92 Jo pasal 93 ayat (2) Jo pasal 86 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Usai ditangkap, kedua kapal langsung dibawa ke dermaga Lantamal I Belawan dan langsung dilakukan pembongkaran ikan sebagai barang bukti untuk disimpan di suatu tempat agar tidak rusak, dengan disaksikan Kepala Stasiun Pengawas Belawan. Apabila fakta-fakta tersebut di atas dipandang sebagai benar (yang tergantung dari bagaimana pembuktiannya), telah dapat cukup dibuktikan unsur kesalahan dari kedua kapal Malaysia tersebut, akan tetapi perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain yang juga terlibat di dalamnya.

Berdasar kan Konvensi Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS Pasal 58 ayat 3 disebutkan :
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di ZEE, negara-negara harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bab ZEE dalam konvensi”
Selain itu dinyatakan pula dalam pasal 62 ayat 4 Konvensi Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS bahwa orang-orang asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE harus mengindahkan upaya-upaya konservasi sesuai peraturan perundang-undangan negara pantai.
Tindakan Kapal Pengawas HIU 001 yang dinahkodai Moch Nursalim milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah sesuai dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (1) dan (3).
Penangkapan tersebut didasarkan kerena kedua kapal berbendera Malaysia melakukan pelanggaran pelanggaran antara lain :

Telah memasuki wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia tanpa ijin yaitu Kapal  KM KF 5325 GT 75,80  pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E Sedangkan kapal lainnya adalah KM. KF 5195 GT 63,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E .
Kapal ditangkap karena melakukan pencurian ikan / illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka.  
Berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Pasal 27 ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyi :

1.    Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.
2.    Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.

Dari hasil pemeriksaan ternyata kedua kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) ini jelas telah melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) tersebut diatas sehingga dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 92 dan Pasal 93 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Pelanggaran diperberat dengan digunakannya alat tangkap terlarang Trawl, hal ini juga melanggar Pasal 9 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi:
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai,membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik.”

 Dimana dalam penjelasan pasal 9 ayat satu disebutkan :
Alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.

Sesuai pasal 73 ayat 1 UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa Negara Pantai mempunyai hak penegakan hukum , yang terkait dengan  hak berdaulatnya atas eksploitasi,konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati  di ZEE untuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan , sebagaimana di perlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS.
Dari Uraian di atas jelas bahwa Penangkapan kedua Kapal berbendera Malaysia telah sesuai dengan undang-undang domestik Indonesia dan ketentuan Internasional .
Dalam kasus ini terdapat pertentangan pendapat antara RI dan Malaysia , yaitu Malaysia menganggap kalau kedua kapal berbendera Malaysia tidak melanggar batas Wilayah Indonesia , sedangkan Indonesia jelas mengatakan bahwa lokasi penangkapan berada di  di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka. Perdebatan ini disebabkan karena sampai saat ini belum adanya kesepakatan perbatasan wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.
Berdasarkan pasal 59 UNCLOS 1982 , dalam hal terjadi  sengketa antara kepentingan-kepentingan Negara Pantai dan Negara lain di ZEE , maka sengketa harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan mempertimbangkan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Sedangkan dalam pasal 74 UNCLOS mengenai penetapan batas ZEE harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38  statuta mahkamah internasional untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
Penerapan metode penyelesaian sengketa secara damai sesuai yang dianjurkan oleh UNCLOS 1982 sebaiknya dan seharusnya dapat diterapkan oleh Indonesia dan Malaysia , karena keduanya telah meratifikasi konvensi tersebut.

Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual
Mahasiswa Pasca Univ.Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar