Kapal Pengawas HIU 001 milik Direktorat Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan tgl 7 april 2011, berhasil menangkap Dua kapal
berbendera Malaysia yang sedang melakukan pencurian ikan /Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia
(ZEEI) Selat Malaka.
Kapal yang ditangkap antara lain KM KF 5325 GT 75,80 ditangkap
pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E dan KM. KF 5195
GT 63,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00"
E. Kedua kapal ditangkap karena :
- telah melanggar batas wilayah ZEE Indonesia.
- tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
- Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI .
- serta penggunaan alat tangkap terlarang Trawl .
Dengan demikian, kedua kapal tersebut melanggar Pasal 5
ayat (1) huruf (b) Jo pasal 92 Jo pasal 93 ayat (2) Jo pasal 86 ayat (1) UU No.
45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Usai ditangkap, kedua kapal langsung dibawa ke dermaga
Lantamal I Belawan dan langsung dilakukan pembongkaran ikan sebagai barang
bukti untuk disimpan di suatu tempat agar tidak rusak, dengan disaksikan Kepala
Stasiun Pengawas Belawan. Apabila fakta-fakta tersebut di atas dipandang
sebagai benar (yang tergantung dari bagaimana pembuktiannya), telah dapat cukup
dibuktikan unsur kesalahan dari kedua kapal Malaysia tersebut, akan tetapi
perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain yang juga terlibat di dalamnya.
Berdasar kan Konvensi Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS Pasal 58 ayat 3
disebutkan :
“ Dalam melaksanakan hak-hak
dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di ZEE, negara-negara harus
mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai
dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya
sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bab ZEE
dalam konvensi”
Selain
itu dinyatakan pula dalam pasal 62 ayat 4 Konvensi
Hukum Laut tahun 1982/UNCLOS bahwa orang-orang asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE harus mengindahkan upaya-upaya konservasi sesuai
peraturan perundang-undangan negara pantai.
Tindakan Kapal Pengawas HIU 001 yang dinahkodai Moch Nursalim
milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah sesuai dengan UU No. 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (1)
dan (3).
Penangkapan tersebut didasarkan kerena
kedua kapal berbendera Malaysia melakukan pelanggaran pelanggaran antara lain :
Telah
memasuki wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia tanpa ijin yaitu
Kapal KM KF 5325 GT 75,80 pada posisi 04 derajat 35`02" N/099
derajat 24`01" E Sedangkan kapal lainnya adalah KM. KF 5195 GT 63,80
ditangkap pada posisi 04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E .
Kapal
ditangkap karena melakukan pencurian ikan / illegal fishing di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI)
Selat Malaka.
Berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Pasal 27 ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyi
:
1.
Setiap orang
yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.
2.
Setiap orang
yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.
Dari hasil pemeriksaan ternyata kedua
kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) ini jelas telah melanggar
ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) tersebut diatas
sehingga dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 92 dan Pasal 93 UU No. 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Pelanggaran diperberat dengan
digunakannya alat tangkap terlarang Trawl, hal ini juga melanggar Pasal 9 ayat
(1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang berbunyi:
“Setiap
orang dilarang memiliki, menguasai,membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik.”
Dimana dalam penjelasan pasal 9 ayat satu
disebutkan :
Alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan
termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.
Sesuai pasal 73 ayat 1 UNCLOS 1982
dijelaskan bahwa Negara Pantai mempunyai hak penegakan hukum , yang terkait
dengan hak berdaulatnya atas
eksploitasi,konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE untuk menaiki kapal, memeriksa,
menangkap dan melakukan proses peradilan , sebagaimana di perlukan untuk
menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan dalam UNCLOS.
Dari Uraian di atas jelas bahwa
Penangkapan kedua Kapal berbendera Malaysia telah sesuai dengan undang-undang
domestik Indonesia dan ketentuan Internasional .
Dalam kasus ini terdapat pertentangan
pendapat antara RI dan Malaysia , yaitu Malaysia menganggap kalau kedua kapal
berbendera Malaysia tidak melanggar batas Wilayah Indonesia , sedangkan
Indonesia jelas mengatakan bahwa lokasi penangkapan berada di di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona
Ekonomi Eksekutif Indonesia (ZEEI) Selat Malaka. Perdebatan ini disebabkan
karena sampai saat ini belum adanya kesepakatan perbatasan
wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.
Berdasarkan
pasal 59 UNCLOS 1982 , dalam hal terjadi
sengketa antara kepentingan-kepentingan Negara Pantai dan Negara lain di
ZEE , maka sengketa harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan
mempertimbangkan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing
keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan. Sedangkan dalam pasal 74 UNCLOS mengenai
penetapan batas ZEE harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum
internasional sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38 statuta mahkamah internasional untuk mencapai
suatu pemecahan yang adil.
Penerapan metode penyelesaian
sengketa secara damai sesuai yang dianjurkan oleh UNCLOS 1982 sebaiknya dan
seharusnya dapat diterapkan oleh Indonesia dan Malaysia , karena keduanya telah
meratifikasi konvensi tersebut.
Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual
Mahasiswa Pasca Univ.Indonesia.
Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual
Mahasiswa Pasca Univ.Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar