Senin, 09 Januari 2012

Mewujudkan Pembangunan Berbasis Kelautan.


Setelah diberlakukannya UU Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda), percepatan eksploitasi sumber daya alam telah menjadi tren pembangunan yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan karena target pendapatan anggaran yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada rencana penerimaan dividen dari BUMN dalam RAPBN 2010 yang akan ditingkatkan dari 26,1 trilliun rupiah pada 2009 menjadi 28,5-29 trilliun rupiah untuk tahun 2010, dimana sektor pertambangan yang menonjolkan eksploitasi lingkungan tetap menjadi primadona dalam mendongkrak pendapatan tersebut. Perubahan besar yang dibawa UU Pemerintahan Daerah adalah bahwa wilayah daerah provinsi terdiri dari wilayah daratan dan lautan sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dari yang semula hanya daratan. Sedangkan kewenangan daerah kabupaten atau kota di wilayah laut adalah sepertiga dari wilayah laut provinsi (pasal 18 ayat 4). Hal ini jelas akan berdampak pada kerusakan bio-fisik dan memberi tekanan yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat jika tidak diimbangi adanya perangkat hukum terkait skenario pembangunan pesisir dan kelautan, terutama bagi wilayah berkapasitas bahan-bahan mineral tambang.
Misalnya dalam pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism yang merujuk pada UU Nomor 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, disebutkan adanya kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir yang meliputi permukaan air, kolam, sampai pada pengelolaan dasar laut. Setidaknya HP-3 tersebut hanya akan mewadahi kepentingan antara pemerintah daerah dan pemilik modal karena masyarakat setempat tidak memiliki nilai tawar dalam peran untuk ikut saling merencanakan. Sekadar kilas balik, adanya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Perpres No 36/2006 jo Perpres No 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur, UU No 19/2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, menjadikan industri pengembangan potensi alam nasional justru mengesankan adanya adagium ”keruk habis jual murah” karena bangsa Indonesia hanya sekadar penonton.
Pernyataan itu sebagaimana telah terjadi pada Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, dimana PT Walea dari Italia (pihak swasta) telah mengenakan larangan atas kegiatan perikanan tradisional sejauh tujuh kilometer (Kompas, 20/3). Demikian juga sebuah perusahaan properti asing, VA Real Estate telah menguasai 7 pulau dari 27 pulau dari gugusan Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Alih-alih pembelaan, perusahaan properti asing itu dianggap menyelamatkan dari kemubaziran pulau tak bertuan, yang justru menjauhkan masyarakat setempat dengan wialayahnya sendiri. Dari sisi kepentingan tersebut, pengembangan kawasan pesisir dan kelautan yang di dalamnya juga menyangkut keberadaan pulau-pulau kecil harus dilaksanakan secara transparan. Misalnya kejelasan pengembangan sebuah pantai, tidak bisa digunakan sebagai lahan pembangunan hotel dan bungalow karena masyarakat justru kehilangan khasanah dan ruang publik. Daerah pesisir harus diperuntukkan bagi rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata.
Dengan kata lain, pesisir sebagai kepentingan publik mesti juga mampu menjadi counter budaya masyarakat karena posisinya sebagai salah satu kepentingan publik. Dalam kepentingan tersebut, pesisir dapat menjelma menjadi ruang publik (public space) dan khasanah publik (public sphare). Ruang publik sebagai tempat fisik dapat dijadikan sebagai ruang kajian bersama atau ruang pendidikan. Sedangkan khasanah publik adalah suatu konsep abstrak atau gagasan-gagasan yang secara kompetitif, pesisir sebagai ruang publik jangan sampai terkalahkan oleh ruang publik lain yang menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas, semacam hotel dan restoran komersial yang menjaga privasi. Mengacu pada UU Nomor 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perlu dijaga adanya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Dalam upaya demikian harus disusun grand design rencana pengembangan sekaligus pelestarian yang memperjelas zonasi pesisir dan kelautan, yaitu zona inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan. Langkah tersebut tentu sangat membutuhkan adanya peran akademisi di bidang sumber daya peraiaran dan kelautan.
Skenario pembangunan sumber daya alam Indonesia yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa semuanya diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi di mana produksi dikerjakan semua masyarakat, untuk masyarakat, dan di bawah pimpinan kepemilikan anggota masyarakat sebagai pencapaian kemakmuran bagi semua masyarakat, bukan sekelompok masyarakat tertentu. Pada perspektif ini, pasal 33 (4) lebih tegas mengakui wawasan lingkungan sebagai salah satu dasar dari demokrasi ekonomi yang harus dijabarkan secara praksis di masyarakat. Sebenarnya tuntutan pembangunan potensi kelautan dapat dikompromikan antara sektor produksi hulu sampai pada hilir, setidaknya terfokuskan pada kualitas penangkapan. Sebagai contoh, dapat dikembangkan adanya industri ikan modern yang diharuskan untuk menjadi sentral produksi pengolahan hasil tangkapan nelayan tradisional, mulai dari sortir sampai pengemasan untuk ekspor. Guna menjaga stabilitas pasokan ikan di laut maka nelayan mesti diberdayakan dengan sistem budidaya, seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Demikian juga pabrik es dan pabrik penyulingan air laut menjadi air tawar (desalinasi) yang layak minum mesti didahulukan daripada industri lain, karena menjadi kebutuhan  inti bagi nelayan dalam mendukung produktivitasnya.
Dalam konteks tersebut, konstitusionalisasi norma lingkungan hidup di dalam UUD 1945 dapat menjadi salah satu cara untuk menegakkan hukum baik secara preventif maupun represif. Adanya norma perlindungan terhadap lingkungan di dalam konstitusi secara otomatis akan menjadi pedoman tidak hanya dalam penyusunan undang-undang organiknya namun juga segala tindakan dan macam laku pembangunan kawasan pesisir dan kelautan dari para pemangku kebijakan, baik itu pemerintah, pihak swasta, ataupun masyarakat akademisi dan masyarakat umum.***

Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual.
Mahasiswa Pascasarjana Univ.Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar