Setelah diberlakukannya UU
Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda), percepatan eksploitasi
sumber daya alam telah menjadi tren pembangunan yang akhirnya meninggalkan
prinsip-prinsip keselamatan lingkungan karena target pendapatan anggaran yang
tinggi. Hal ini dapat dilihat pada rencana penerimaan dividen dari BUMN dalam
RAPBN 2010 yang akan ditingkatkan dari 26,1 trilliun rupiah pada 2009 menjadi
28,5-29 trilliun rupiah untuk tahun 2010, dimana sektor pertambangan yang
menonjolkan eksploitasi lingkungan tetap menjadi primadona dalam mendongkrak
pendapatan tersebut. Perubahan besar yang dibawa UU Pemerintahan Daerah adalah
bahwa wilayah daerah provinsi terdiri dari wilayah daratan dan lautan sejauh
dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dari yang semula
hanya daratan. Sedangkan kewenangan daerah kabupaten atau kota di wilayah laut
adalah sepertiga dari wilayah laut provinsi (pasal 18 ayat 4). Hal ini jelas
akan berdampak pada kerusakan bio-fisik dan memberi tekanan yang cukup besar terhadap
kesejahteraan masyarakat jika tidak diimbangi adanya perangkat hukum terkait
skenario pembangunan pesisir dan kelautan, terutama bagi wilayah berkapasitas
bahan-bahan mineral tambang.
Misalnya dalam pengembangan
pariwisata bahari atau marine ecotourism yang merujuk pada UU Nomor
27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, disebutkan
adanya kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3,
yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir yang meliputi permukaan
air, kolam, sampai pada pengelolaan dasar laut. Setidaknya HP-3 tersebut hanya
akan mewadahi kepentingan antara pemerintah daerah dan pemilik modal karena
masyarakat setempat tidak memiliki nilai tawar dalam peran untuk ikut saling
merencanakan. Sekadar kilas balik, adanya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU
No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing,
UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Perpres No
36/2006 jo Perpres No 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur, UU
No 19/2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, menjadikan industri
pengembangan potensi alam nasional justru mengesankan adanya adagium ”keruk
habis jual murah” karena bangsa Indonesia hanya sekadar penonton.
Pernyataan itu sebagaimana telah terjadi pada
Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, dimana PT Walea dari
Italia (pihak swasta) telah mengenakan larangan atas kegiatan perikanan
tradisional sejauh tujuh kilometer (Kompas, 20/3). Demikian juga sebuah
perusahaan properti asing, VA Real Estate telah menguasai 7 pulau dari
27 pulau dari gugusan Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Alih-alih pembelaan, perusahaan properti asing itu dianggap menyelamatkan dari
kemubaziran pulau tak bertuan, yang justru menjauhkan masyarakat setempat
dengan wialayahnya sendiri. Dari sisi kepentingan tersebut, pengembangan
kawasan pesisir dan kelautan yang di dalamnya juga menyangkut keberadaan
pulau-pulau kecil harus dilaksanakan secara transparan. Misalnya kejelasan
pengembangan sebuah pantai, tidak bisa digunakan sebagai lahan pembangunan
hotel dan bungalow karena masyarakat justru kehilangan khasanah dan ruang
publik. Daerah pesisir harus diperuntukkan bagi rekreasi pantai, taman, dan hutan
pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata.
Dengan kata lain, pesisir sebagai kepentingan
publik mesti juga mampu menjadi counter budaya masyarakat karena
posisinya sebagai salah satu kepentingan publik. Dalam kepentingan tersebut,
pesisir dapat menjelma menjadi ruang publik (public space) dan
khasanah publik (public sphare). Ruang publik sebagai tempat fisik
dapat dijadikan sebagai ruang kajian bersama atau ruang pendidikan. Sedangkan
khasanah publik adalah suatu konsep abstrak atau gagasan-gagasan yang secara
kompetitif, pesisir sebagai ruang publik jangan sampai terkalahkan oleh ruang
publik lain yang menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas, semacam hotel dan
restoran komersial yang menjaga privasi. Mengacu pada UU Nomor 23/1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, perlu dijaga adanya kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Dalam upaya demikian harus disusun grand design rencana
pengembangan sekaligus pelestarian yang memperjelas zonasi pesisir dan
kelautan, yaitu zona inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan. Langkah
tersebut tentu sangat membutuhkan adanya peran akademisi di bidang sumber daya
peraiaran dan kelautan.
Skenario pembangunan sumber daya alam Indonesia
yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa semuanya
diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi di mana produksi dikerjakan semua
masyarakat, untuk masyarakat, dan di bawah pimpinan kepemilikan anggota
masyarakat sebagai pencapaian kemakmuran bagi semua masyarakat, bukan
sekelompok masyarakat tertentu. Pada perspektif ini, pasal 33 (4) lebih tegas
mengakui wawasan lingkungan sebagai salah satu dasar dari demokrasi ekonomi
yang harus dijabarkan secara praksis di masyarakat. Sebenarnya tuntutan
pembangunan potensi kelautan dapat dikompromikan antara sektor produksi hulu
sampai pada hilir, setidaknya terfokuskan pada kualitas penangkapan. Sebagai
contoh, dapat dikembangkan adanya industri ikan modern yang diharuskan untuk
menjadi sentral produksi pengolahan hasil tangkapan nelayan tradisional, mulai
dari sortir sampai pengemasan untuk ekspor. Guna menjaga stabilitas
pasokan ikan di laut maka nelayan mesti diberdayakan dengan sistem budidaya,
seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Demikian juga pabrik es dan pabrik
penyulingan air laut menjadi air tawar (desalinasi) yang layak minum mesti
didahulukan daripada industri lain, karena menjadi kebutuhan inti bagi
nelayan dalam mendukung produktivitasnya.
Dalam konteks tersebut, konstitusionalisasi norma
lingkungan hidup di dalam UUD 1945 dapat menjadi salah satu cara untuk
menegakkan hukum baik secara preventif maupun represif. Adanya norma
perlindungan terhadap lingkungan di dalam konstitusi secara otomatis akan
menjadi pedoman tidak hanya dalam penyusunan undang-undang organiknya namun
juga segala tindakan dan macam laku pembangunan kawasan pesisir dan kelautan
dari para pemangku kebijakan, baik itu pemerintah, pihak swasta, ataupun
masyarakat akademisi dan masyarakat umum.***
Dosen Politekhnik Perikanan Negri Tual.
Mahasiswa Pascasarjana Univ.Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar