Sabtu, 31 Desember 2011

Penanganan IUU Fishing Pada Perbatasan Wilaya Laut Indonesia di Pulau Lirang Dengan Republik Demokratic Timor Leste di Pulau Atauro Dalam Kerangka Hukum Internasional.


Tantangan yang dihadapi untuk dapat mengelola sumber daya ikan secara berkelanjutan di perairan Indonesia menjadi sangat berat karena maraknya praktek-praktek penangkapan ikan yang oleh dunia internasional disebut sebagai kegiatan perikanan yang illegal, unreported and unregulated (lUU-fishing). Menurut kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Echols and Shadily, 2002), kegiatan illegal berarti kegiatan melanggar hukum, gelap, tidak sah atau liar. Perkataan unregulated bermakna tidak teratur, sedangkan unreported berarti tidak dilaporkan. Dalam perspektif pengelolaan perikanan di Indonesia, defenisi FAO tentang kegiatan illegal dengan mudah dipahami karena memiliki definisi yang tidak berbeda yaitu segala bentuk kegiatan yang melanggar hukum/peraturan yang ada, namun pemahaman unreported dan unregulated dalam konteks hukum perikanan di Indonesia belumlah didefinisikan secara jelas.
Pengertian Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia (Mukhtar, 2008). Lebih lanjut dikemukakan bahwa IUU fishing dapat terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan serta intensitas eksploitasi. Demikian pula dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil maupun industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional.
Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2001 merumuskan satu panduan khusus untuk mengatasi kegiatan IUU-fishing di samudra dunia. Panduan tersebut diberi nama "International Plan of Action to Prevent, Determine and Eliminate IUU-fishing (IPOA-IUU-fishing)". Penyusunan pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan IUU fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya perikanan yang komprehensif, terintegrasi, efektif, transparan serta memperhatikan kelestarian sumber daya bagi negara-negara perikanan dunia. Naskah panduan tersebut disepakati oleh Committee on Fisheries (COFI) dari FAO secara konsensus pada tanggal 2 Maret 2001 (FAO, 2001).
Dokumen tersebut pada bagian awalnya berisikan pemahaman mengenai arti dari istilah illegal, unreported dan unregulated. Menurut panduan tersebut istilah atau defenisi perikanan IUU:
(1)    Kegiatan   perikanan   yang   termasuk   kategori   illegal   adalah   kegiatan penangkapan ikan yang:
1)    Dilakukan oleh kapal-kapal nasional maupun kapal asing di perairan di dalam yuridiksi satu negara tanpa izin dari negara tersebut ataupun bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut;
2)    Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut, ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku lainnya yang relevan; atau
3)    Bertentangan dengan hukum  nasional atau pun kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dianut oleh negara-negara yang menyatakan bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.
(2)  Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unreported mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1)    Tidak melaporkan atau sengaja memberi data yang salah dalam melaporkan kegiatannya pada institusi nasional yang relevan, yang mana bertentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku di negara tersebut; atau
2)    Dilakukan di dalam wilayah, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut.
(3)   Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unregulated mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1)   Di area dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan program-program pengelolaan dari organisasi tersebut; atau
2)    Di area atau terhadap stok ikan yang tidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. Beberapa kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated} diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Diharapkan IPOA-IUU fishing dapat dipandang sebagai salah satu instrumen yang berguna untuk mengatasi masalah IUU fishing. Sudah barang tentu tidak semua instrumen tersebut akan sesuai digunakan di berbagai situasi dan di tiap perairan. Oleh sebab itu, kehadiran panduan tersebut diharapkan dapat : (1) membantu negara-negara anggota FAO untuk lebih mengenai berbagai instrumen yang tersedia; (2) memberi saran tentang instrumen yang sesuai dengan situasi dan kondisi perairan tertentu dan kondisi negara; dan (3) memberikan arahan tentang bagaimana menggunakan instrumen tersebut secara efektif. Panduan tersebut menghendaki setiap negara perikanan dunia menyusun program penanggulangan masalah lUU-fishing di wilayahnya sesegera mungkin, tidak lebih dari tiga tahun sejak dokumen tersebut diadopsi. Dalam Lembaran Fakta yang disusun DKP-RI melalui Direktorat Jenderal
P2SDKP pada siaran persnya tanggal 3 Maret 2008 (DITJEN P2SDKP, 2008),
terdapat empatpersoalan utama yang berkaitan dengan IUU fishing, antara lain :
(1)   Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing merupakan permasalahan global   (menjadi   isu   internasional)   dalam   pembangunan   kelautan   dan perikanan. Kegiatan IUU fishing mengakibatkan kerugian ekonomis, kerugian sosial, rusaknya terumbu karang, berkurangnya jumlah ikan dunia secara signifikan dan menyulitkan upaya negara-negara dalam mengelola sumber daya perikanan di laut yang berada dalam yuridiksinya. Menurut catatan The Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah IUU fishing diperkirakan seperempat dari jumlah total penangkapan ikan dunia dengan kecenderungan jumlah yang terus meningkat dari sisi kuantitas maupun cakupannya;
(2) FAO pada tahun 1999 telah merumuskan upaya-upaya penanganan permasalahan IUU fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action (IPOA) dengan tetap mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Disamping itu dunia internasional telah pula menyelenggarakan beberapa konvensi internasional yang melibatkan negara-negara di dunia dalam upaya merumuskan aksi penanggulangan IUU fishing. Karena sifatnya yang luas, ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konvensi tersebut cenderung masih bersifat sektoral dan lebih terfokus pada kepentingan negara-negara maju ketimbang kepentingan negara berkembang. Disamping itu, peraturan dan kebijakan penanggulangan IUU fishing di masing-masing negara berbeda satu sama lain, sehingga kerapkali memicu terjadinya perbedaan cara pandang dan tindak bagi negara yang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya berbatasan secara langsung;
(3)   Hasil operasi kapal pengawas P2SDKP tahun 2007 telah berhasil melakukan penangkapan sebanyak 184 kapal perikanan dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal pengawas dengan rincian bahwa pada tahun 2007 jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) mencapai 212 buah kapal yang ditangkap sebanyak 89 buah kapal, sedangkan untuk kapal ikan Indonesia (KII) sebanyak 1995 buah dan yang ditangkap sebanyak 95 buah kapal. Dari hasil tersebut diperkirakan kerugian negara yang dapat terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar. Kerugian negara tersebut terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) sebesar Rp. 34 miliar, subsidi BBM senilai Rp. 23,8 miliar dan sumber daya perikanan yang terselamatkan sebesar Rp. 381 miliar. Nilai sumber daya ikan tersebut bila dikonversikan dengan produksi ikan sekitar 43.208 ton. Produksi tersebut bila dimanfaatkan diperkirakan mampu menyerap sekitar 17.970 tenaga kerja baik di sub sektor perikanan tangkap, pengolahan, jasa kelautan dan pendukung;
(4)   Pada tahun 2007, kasus yang ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan sebanyak 150 kasus. Kasus/pelanggaran yang terjadi umumnya berupa tidak memiliki dokumen perizinan (63 kasus), tidak berizin dan memiliki alat tangkap terlarang (27 kasus), dokumen tidak lengkap (128 kasus) serta pelanggaran fishing ground (10 kasus). Dari 150 kasus tersebut, 122 kasus sedang dalam proses hukum, 4 kasus pada tahap klarifikasi dan 24 kasus tidak diproses secara hukum (proses pembinaan). Kasus-kasus yang diproses secara hukum diantaranya 69 dalam proses penyidikan, 22 kasus telah dalam tahap P-21, 3 kasus dalam proses persidangan serta 28 kasus telah mendapatkan putusan pengadilan. Dari berbagai operasi yang telah dilakukan oleh DKP sepanjang 2007 dengan didukung oleh alokasi anggaran APBN sebesar Rp. 254 miliar, telah berhasil menangkap dan menyidang sebanyak 184 buah kapal, dengan total kerugian Negara yang berhasil terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan IUU fishing di Indonesia antara lain disebabkan karena adanya kendala-kendala dalam penanganannya. Mukhtar
(2008) mengemukakan kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU
fishing di Indonesia yaitu:
(1)   Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan; Penerapan Monitor ing and Controlling System yang belum sempurna.
(2)   Belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan dan penggandaan izin.
(3)   Lemahnya Law Enforcement karena wibawa hukum menurun.
(4)   Ketidakadilan bagi masyarakat.
(5)   Maraknya pelanggaran & aktivitas-aktivitas ilegal.
Masalah-masalah IUU fishing yang dijelaskan di atas, umumnya terjadi di wilayah-wilayah     perbatasan.     Kecenderungan     masalah-masalah     tersebut, khususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang penting untuk dimanfaatkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 6 menyatakan bahwa Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Mengacu pada Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang ini, Wilayah Negara yang dimaksudkan di atas adalah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Batasan ini menunjukkan bahwa Kawasan Perbatasan tidak hanya meliputi wilayah daratan tetapi juga wilayah perairan yang termasuk dalam teritorial negara. Dalam konteks geografis, banyak  permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat di kawasan perbatasan sebagai akibat lemahnya aksesibilitas. Permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan Indonesia berbeda sifat dan kondisinya dengan kawasan lain. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan dipengaruhi oleh faktor yang berbeda seperti geografis, sumber daya manusia dan alam, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta tingkat kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh seluruh wilayah perbatasan di Indonesia adalah kemiskinan serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi.
Beberapa masalah di wilayah perbatasan Indonesia yang penting dikemukakan untuk memberikan gambaran adanya masalah di wilayah itu, antara lain:
(1) Provinsi Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, kondisi sosial-ekonomi negara tetangga masih jauh lebih baik. Selain itu, di wilayah perbatasan ini terjadi pula penurunan kualitas sumber daya alam akibat perambahan hutan secara ilegal serta adanya pengiriman sumber daya manusia secara ilegal.
(2) Di wilayah perbatasan Papua-PNG, kondisi sosial dan ekonomi Indonesia yang masih relatif lebih baik serta masih adanya keterikatan keluarga dan suku bangsa sehingga menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional (barter) melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi. Kegiatan perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi dan bersifat resmi antara kedua negara melalui pintu perbatasan ini masih sangat terbatas. Sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara fisik, sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas pegunungan dan kawasan berbukit yang masih sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat dan roda dua. Satu-satunya sarana perhubungan yang dapat menjangkau wilayah perbatasan pegunungan tersebut adalah pesawat udara perintis atau helikopter.
(3) Di wilayah perbatasan Indonesia dan RDTL, secara umum kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku Barat Daya, masih  belum berkembang dan sarana serta prasarananya masih bersifat darurat. Secara umum kondisi wilayah perbatasan di NTT dan Maluku Barat Daya ini relatif lebih baik dibanding dengan wilayah perbatasan di wilayah Timor Leste (RDTL). Pada kawasan tersebut sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat Timor Leste dan disediakan oleh masyarakat Indonesia dengan nilai jual yang relatif tinggi.
Dalam konteks potensi wilayah, setiap wilayah perbatasan memiliki ciri khas mas ing-mas ing. Ciri khas yang dimaksud bisa didasarkan pada aspek geofisik wilayah, aspek biologis, aspek sosial maupun aspek ekonomi. Keseluruhan aspek tersebut, bila dilihat secara menyeluruh memberikan gambaran bahwa wilayah perbatasan memiliki potensi untuk dikelola dan dimanfaatkan, terutama potensi yang memiliki nilai ekonomis seperti hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan.
Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah perbatasan di kawasan perairan laut yang menjadi tujuan pemanfaatan ialah sumber daya ikan. Namun demikian, sumber daya ikan di seluruh dunia saat ini menghadapi tekanan eksploitasi yang sangat tinggi. Hasil evaluasi badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 1998 menunjukkan bahwa empat dari 16 perairan telah mencapai puncak pemanfaatan sumber daya ikannya, delapan wilayahnya telah dimanfaatkan sekitar lebih dari 70%, sementara empat lainnya telah dimanfaatkan antara 10% - 50%. Wilayah perairan Indonesia yang termasuk dalam wilayah 57 yaitu perairan kawasan Timur dan Utara serta wilayah 71 yaitu perairan kawasan Barat dan Selatan, termasuk yang dinyatakan sebagai kawasan dimana pemanfaatan sumber daya ikannya sudah mencapai puncak (Nikijuluw, 2005).
Sebagai negara anggota PBB yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup besar, Indonesia memiliki obligasi untuk berupaya sekuat tenaga menjaga agar sumber daya ikan yang dimiliki tetap lestari. Pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia yang memiliki mandat mengelola sumber daya perikanan dan kelautan. Sebagai institusi yang mendapat otoritas untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan maka KKP menjadi aktor penentu dalam penyusunan program nasional penanggulangan masalah IUUfishing Indonesia.
Keberadaan lembaga negara yang diberi mandat dan tugas untuk mengelola sumber daya ikan di Indonesia sudah sejak berpuluh tahun lalu yang ditingkatkan menjadi KKP pada tahun 1999. Sejak itu pula berbagai program nasional maupun daerah diluncurkan agar sektor kelautan dan perikanan Indonesia menjadi maju. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan KKP untuk mengelola sumber daya perikanan agar tetap lestari, baik dengan penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), penetapan jalur-jalur penangkapan sesuai dengan kapasitas dan upaya penangkapan, pembatasan armada dan alat tangkap, penetapan kuota hasil tangkapan, sampai pada pengembangan kawasan-kawasan konservasi laut.
Berdasarkan upaya-upaya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari, seharusnya tidak sulit untuk memberikan bukti pada dunia bahwa Indonesia telah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dan telah memilih serta memiliki cara untuk mengatasinya sesuai dengan rekomendasi dan anjuran FAO. Program-program yang sudah berjalan ataupun dalam perencanaan tersebut disusun dan dikerjakan oleh berbagai unit kerja yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai institusi yang bernaung di bawah kendali KKP. Mengingat bahwa dokumen resmi FAO mengenai aspek IUU fishing ini baru disebarluaskan pada tahun 2001, maka masih diperlukan waktu agar semua lapisan masyarakat terutama di pemerintahan pusat maupun daerah untuk memahaminya. Itulah sebabnya mengapa berbagai program yang sudah ada belumlah disusun secara komprehensif sesuai dengan format yang direkomendasikan oleh FAO dalam buku panduannya (FAO, 2002). Penyusunan program penanggulangan IUU-fishing secara komprehensif sesuai dengan format yang direkomendasikan oleh FAO dapat menjadi bukti adanya komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkapnya.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Akibatnya, wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakat di wilayah perbatasan pada umumnya miskin serta diprediksi banyak yang berorientasi pada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga, yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga RDTL, tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan potensi sumber daya alamnya (migas) serta dukungan internasional akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi wilayah NTT dan Maluku yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan kontinen maupun maritim menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut. Kerjasama subregional seperti Asian Free Trade Area (AFTA), Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East Asian Growth Area (BIMP-EAGA), dan Australia-Indonesia Development Area (AID A) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan seluruh pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan subregional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumber daya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Isu dan permasalahan yang sering muncul dan terjadi dengan negara-negara tetangga secara bilateral lebih banyak didominasi oleh masalah penataan garis batas antar negara, baik kontinen maupun batas maritim. Namun demikian isu atau permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian juga muncul seperti penanganan masalah nelayan yang saling melanggar batas negara, dan adanya pelintas batas tradisional sebagai kegiatan yang telah berlangsung sejak dahulu karena adanya kesamaan budaya dan hubungan kekeluargaan seperti di Kalimantan, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Di beberapa wilayah perbatasan, baik darat maupun laut belum tercapai kesepakatan penentuan garis batas, termasuk antara RI dan RDTL. Di wilayah perbatasan kedua negara ini, beberapa titik tapal batas belum disepakati. Ketidakjelasan batas maritim antara kedua negara sering menimbulkan pertentangan antara aparat yang bertugas di lapangan, serta antara nelayan Indonesia dan negara tetangga.
Wilayah-wilayah maritim yang belum disepakati garis batasnya antara lain: (1) batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan P. Miangas, P. Marore, dan P. Marampit; (2) penentuan batas yang baru secara trilateral antara Indonesia-Australia dan RDTL; (3) batas landas kontinen di wilayah antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam; (4) batas perairan ZEE antara Indonesia dan Palau; dan (5) masih adanya ganjalan tentang batas laut dengan Singapura akibat reklamasi yang dilakukan Singapura. Belum tercapainya kesepakatan penentuan garis batas negara dengan negara tetangga sangat potensial menimbulkan berbagai masalah baru di masa yang akan datang.
Perbatasan maritim Indonesia dengan sepuluh negara tetangga memberi peluang adanya pelanggaran batas, baik oleh kapal-kapal asing maupun oleh nelayan dalam negeri yang belum mengetahui secara pasti batas maritim Indonesia. Belum jelas dan tegasnya batas maritim antara Indonesia dan beberapa negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, menyebabkan terjadinya pelanggaran batas maritim oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. Beberapa kasus pendudukan pulau-pulau milik negara tetangga, di perbatasan maritim dengan Australia dan perbatasan maritim dengan India, yang telah berlangsung lama menyimpan potensi konflik karena dapat memicu konflik bilateral yang lebih meluas.
Penanganan nelayan kedua negara yang melanggar batas perlu diupayakan secara terpadu oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah. Di beberapa daerah kepulauan, seperti Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua, NTB, dan NTT, Maluku, masih banyak nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang masuk tanpa izin karena ketidaktahuan batas maritim antara kedua negara. Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan, mengingat sumber daya laut yang telah dicuri oleh nelayan asing selama ini merugikan negara dalam jumlah besar. Demikian pula halnya dengan pengembalian nelayan Indonesia yang tertangkap di negara tetangga ke daerah asalnya masing-masing serta penanganan kapal-kapal asing yang ditangkap aparat keamanan Indonesia. Di beberapa daerah, kapal-kapal tangkapan ini dibiarkan terlantar tidak terpakai menunggu keputusan hukum yang berlaku.
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa wilayah perbatasan seperti di Kalimantan, Papua, NTT dan Maluku, menyebabkan adanya kegiatan lintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan lintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antar negara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan wilayah perbatasan kontinen maupun maritim di beberapa daerah.
Masalah sosial dan kependudukan lain adalah masih belum terjangkaunya pelayanan administrasi daerah seperti pemberian tanda pengenal penduduk bagi warga masyarakat di wilayah perbatasan karena sulitnya akses dan terbatasnya sarana perhubungan dan kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan sehingga banyak penduduk Indonesia yang berobat dan bersekolah ke negara tetangga, seperti yang terjadi di daerah Kalimantan Barat. Demikian pula dengan ikatan kekeluargaan antara pengungsi eks Provinsi Timor Timur di Atambua - NTT dan keluarganya di RDTL masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian tentang bagaimana pengaturan kunjungan kekeluargaan ini untuk menghindari lintas batas secara ilegal. Beberapa   fakta   yang  menunjukkan   adanya   pemanfaatan perairan perbatasan pulau Lirang dan RDTL antara lain:
(1)     Pergerakan nelayan RDTL (yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat di  pulau Lirang di Maluku Barat Daya) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar pulau Lirang, dengan perhitungan akan mudah mencari perlindungan ketika musim angin atau ombak. Bahkan aktivitas penangkapan ikan bisa dilakukan secara bersamaan antara nelayan RDTL dengan nelayan pulau Lirang.
(2)     Hal menarik yang dapat diangkat dalam konteks pengelolaan sumber daya ikan ialah bahwa masuknya nelayan RDTL ke Pulau Lirang sulit untuk dicegah petugas TNI dan Polisi di wilayah perbatasan Indonesia ini. Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan bahasa dan dialek sehingga para penjaga perbatasan ini tidak bisa membedakan antara nelayan pulau Lirang dan RDTL.
(3)     Ekspansinya nelayan dari pulau Lirang untuk tujuan penangkapan ikan, tidak hanya menjangkau perairan Pulau Lirang, tetapi juga cenderung mengarah ke kawasan sekitar Pulau Timor yang menjadi kewenangan RDTL. Kegiatan ini dapat dilakukan secara terus menerus ataupun berulang tanpa ada pengawasan yang ketat. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi karena penggunaan armada penangkapan, pola penggunaan dan jenis alat tangkap serta teknik penangkapan yang sama, menyulitkan pengawasan terhadap aktivitas perikanan lintas batas ini.

Ketiga fakta tersebut membuktikan bahwa secara tradisional masyarakat pulau Lirang dan RDTL telah memanfaatkan ruang yang sama untuk tujuan penangkapan ikan. Kondisi ini merupakan praktek IUU fishin. Penanganan perikanan Illegal pada perbatasan perairan pulau Lirang memberi arti penting tentang adanya: (1) batas wilayah NKRI; (2) landas kontinental; (3) perairan teritorial; dan (4) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Didasarkan pada menyatunya perairan teritorial pulau Lirang dan perairan RDTL, maka keberadaan sumber daya ikan di perairan tersebut dapat bermuara atau bermigrasi secara bebas dan dapat menyebabkan adanya perilaku perikanan ilegal. Di samping itu, kegiatan perdagangan atau pemasaran hasil di sekitar pulau perbatasan pulau Lirang di Indonesia maupun Pulau Kambing di RDTL juga menjadi daya tarik untuk terjadinya perikanan ilegal.*** 
Maimuna Renhoran, SH.
Dosen Politkhnik Perikanan Negri Tual.
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Transnasional Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar